Benarkah Aula Simfonia Jakarta Memiliki Ruang Konser Terbaik di Asia?

Mempertanyakan metode penilaian Wikipedia dan Kompasiana?

Saya menulis artikel ini untuk mempertanyakan predikat Akustik Terbaik, yang menurut Wikipedia tertulis sebagai berikut:

Aula Simfonia Jakarta yang didaulat sebagai Aula dengan Akustik terbaik se-Asia ini, umumnya menjadi tempat pementasan musik klasik dan orkes musik.
— Wikipedia Indonesia


Sumber Wikipedia di atas dikutip dari tulisan Joseph Young di Kompasiana yang ditulis sebagai berikut .

Indonesia Sudah Memiliki Concert Hall Terbaik di Asia
— Joseph Young - Kompasiana

Tulisan Wikipedia dan Kompasiana di atas dapat memberikan pemahaman yang dangkal, dimana pemberian predikat terbaik seharusnya disertai penjelasan kriteria dan metode penilaian yang jelas dan terukur.

Oleh karena itu saya tergelitik untuk membuat tulisan yang bertujuan untuk memberikan edukasi yang benar mengenai kriteria penilaian Kualitas sebuah Ruang Konser yang lebih objektif.

Kriteria Kualitas Ruang Konser

Motivasi orang untuk menyaksikan penampilan musik hidup di ruang konser adalah untuk mendapatkan sensasi dan pengalaman melihat dan mendengar langsung penampilan musik, termasuk seni panggung, atraksi lampu dan multimedia dan terakhir dapat merasakan gelora emosi penonton lainnya. Untuk pertunjukan musik klasik secara umum ada dua kriteria yang dinilai yaitu: Kualitas Akustik dan Kualitas Visual.

Berikut adalah penilaian subjektif saya terhadap Kualitas Akustik dan Kualitas Visual Aula Simfonia Jakarta yang didasari pengalaman saya beberapa kali mendengar konser musik klasik di Ruang Konser Aula Simfonia Jakarta dibandingkan beberapa ruang konser di negara lain.

1. Kualitas Akustik

Salah satu daya tarik untuk mendengarkan konser hidup di sebuah Ruang Konser adalah mendapatkan sensasi emosional dari musik yang dimainkan (Roose, 2008). Pengalaman emosional yang kuat tersebut sering diberi istilah “chills”, “thrills” atau “goose bump”. Perubahaan dinamika suara merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pengalaman tersebut, seperti transisi suara crescendos di mulai dari suara lembut dan pelan-pelan menjadi kuat (Sloboda, 1991; Bannister, 2018).

Untuk mendapatkan sensasi emosional yang disebutkan di atas, (Tapioki Lokki,2020) menyimpulkan Parameter Kualitas Akustik yang menentukan adalah sensasi emosional adalah:

Reverberation Time atau waktu dengung adalah waktu yang diperlukan sebuah sumber suara meluruh. Waktu dengung yang panjang memberikan persepsi Akustik Ruang yang hidup dan sebaliknya waktu dengung yang pendek memberikan kesan Akustik Ruang yang Mati. Tabel berikut adalah waktu dengung yang ideal menurut (Kinsler,1999).

BASS RATIO WAKTU DENGUNG. Jika karakter pantulan suara dan waktu dengung dominan di frekuensi tinggi maka suara terdengar kering dan cempreng, akan tetapi jika yang terjadi sebaliknya suara musik akan terdengar gelap dan berat. Bass ratio yang disarankan untuk sebuah konser hall adalah Bass Ratio di atas 1.

Loudness adalah tingkat kekerasan suara yang terdengar di posisi tertentu. Loudness yang terdengar adalah penjumlahan tekanan suara langsung dan tekanan suara yang terdengar setelahnya. Apabila perbandingan suara musik yang terdengar langsung dibanding suara setelahnya lebih besar memberikan persepsi suara musik yang detail, dan sebaliknya apabila suara langsung lebih kecil maka suara terdengar lebih berbaur.

Envelopment adalah kesan audiens yang mendengar suara langsung dan beberapa suara pantulan yang datang dari beragam arah dengan waktu yang berbeda yang disebabkan karena pantulan dinding kiri-kanan, depan-belakang dan ceiling.

Kursi penonton dengan sandaran kayu, selain tidak nyaman juga menyebabkan waktu dengung konser hall yang tidak konsisten

Aula Simfonia Jakarta memiliki ukuran yang tidak terlalu besar untuk sebuah ruang konser, dan berbentuk kotak. Pada level bawah terdapat panggung dengan ukuran relatif kecil dan kursi penonton VIP berbahan kayu berundak landai dikelilingi dinding bernuansa kayu (L1). Pada level balkon (L2) terdiri dari kursi dengan konfigurasi vineyard (kebun anggur) yang berundak lebih curam dan dikeliling oleh dinding bernuansa kayu. Setelah itu ada dinding yang dihiasi oleh art work berupa muka komposer dan patung pemain alat musik (L3). Terakhir adalah drop ceiling berwarna putih.

Dari pengalaman saya beberapa kali mendengar pertunjukan musik di Ruang Konser Aula Simfonia Jakarta saya menilai Karakteristik Akustik Aula Simfonia Jakarta, cenderung Kering dan Cempreng dimana saya merasa karakter suara musik terdengar kurang memiliki bobot karena kurangnya envelopment frekuensi rendah, Kaku dan Getas karena saya merasakan attack suara alat musik yang keras tanpa suara decay yang berimbang.

Selain itu Karakteristik waktu dengung yang tidak konsisten yang disebabkan oleh pantulan kursi berbahan kayu. Jadi di saat ruangan kosong ruangan akan terasa lebih “hidup” karena kursi yang kosong memantulkan suara.. Akan tetapi di saat ruangan penuh terisi orang akan terasa “mati” karena suara musik terserap oleh pakaian dan tubuh audiens.

Berikut adalah sampel suara yang saya rekam menggunakan Iphone 14 di posisi duduk mezannine sebelah kiri pada acara George Harliono - Symphony for Life .

Terlepas dari Kualitas Akustik, kursi dengan sandaran kayu membuat tampilan Ruang Konser yang harusnya memberikan kesan “berkelas” menjadi terkesan “murah”. Selain itu kursi ini juga kurang nyaman diduduki untuk menikmati musik untuk durasi yang cukup panjang.

2. Kualitas Visual

Walau lebih banyak studi dan penelitian yang berusaha memahami Kualitas Akustik apa saja yang mempengaruhi kriteria bagus dan jelek, tapi menurut penelitian yang dilakukan oleh (Satoshi Kawase, 2013) terhadap pertunjukan musik maupun non musik, Kualitas Visual adalah faktor pertama yang dipertimbangkan saat audiens memilh posisi tempat duduk.

Faktor pemilihan lokasi tempat duduk menentukan Kualitas Visual yang terdiri dari 3 faktor: (1) Jarak Pandang ke Panggung (2) Sudut Pandang terhadap Panggung dan (3) Sightline (garis pandang yang tidak terhalang) ke Panggung dan Backdrop Panggung.

Sightline yang baik membuat penonton dapat melihat keseluruhan area panggung tanpa adanya halangan kepala orang atau elemen arsitektur. C-value adalah metode yang dapat dipakai untuk memastikan setiap tempat duduk dapat melihat area panggung 100%.

Sepertinya pada saat mendesain Ruang Konser dengan konfigurasi kebun anggur (vineyard), tidak dilakukan perhitungan sightline sehingga menyebabkan banyak kursi yang pandangan ke panggung terhalang oleh penonton di depannya atau terhalang dengan elemen arsitektural.

Kotak merah memperlihatkan area panggung yang terganggu oleh kepala penonton, tembok mezzannine dan railing tangga.

Gambar di atas memperlihatkan area panggung yang terhalang oleh tembok, rail tangga dan kepala penonton di depan sehingga area panggung yang bisa terlihat dengan jelas berkurang 40%. Tempat duduk yang berada di belakang panggung juga tidak dapat melihat panggung 100% karena penampil yang terlalu menempel ke dinding belakang panggung.

Kesimpulan

Walau Aula Simfonia Jakarta saat ini merupakan salah satu Ruang Konser yang dianggap baik untuk konser musik klasik di Indonesia oleh sebagian besar pecinta konser musik klasik. Akan tetapi menurut penilaian subjektif saya Aula Simfonia Jakarta belum pantas untuk diberikan predikat Ruang Konser Yang Baik, apalagi diberikan predikat “Terbaik di Asia”.


Tulisan yang tidak bertanggung jawab ini membuat saya jadi teringat cerita Seorang Katak yang merasa dirinya dapat menjadi sebesar seekor Kerbau.

Referensi

  1. "Indonesia Sudah Memiliki Concert Hall Terbaik di Asia” https://www.kompasiana.com/josephisme/5500e28ea333115b7351226b/indonesia-sudah-memiliki-concert-hall-terbaik-di-asia

  2. Aula Symphonia Jakarta https://id.wikipedia.org/wiki/Aula_Simfonia_Jakarta#:~:text=Aula%20Simfonia%20Jakarta%20adalah%20balai,%2C%20perpustakaan%2C%20dan%20sekolah%20teologi.

  3. Roose, H. (2008). “Many-voiced or unisono? An inquiry into motives for attendance and aesthetic dispositions of the audience attending classical concerts,” Acta Sociol. 51(3), 237–253.

  4. Sloboda, J. A. (1991). “Music structure and emotional response: Some empirical findings,” Psychol. Music 19(2), 110–120.

  5. Lokki, T., McLeod, L. & Kuusinen, A. Perception of loudness and envelopment for different orchestral dynamics. J. Acoust. Soc. Am. 148, 2137–2145 (2020).

  6. Kinsler, L.E.; Frey, A.R.; Coppens, A.B.; Sanders, J.V. Fundamentals of Acoustics (Physics), 4th ed.; Wiley: Hoboken, NJ, USA, 1999;ISBN 978-0-471-84789-2.

  7. Satoshi Kawase, Factors influencing audience seat selection in a concert hall: A comparison between music majors and nonmusic majors, Journal of Environmental Psychology, Volume 36, 2013, Pages 305-315, ISSN 0272-4944.


Herwin Gunawan Architecture Building Physics Science

Architectural Building Physics Science: Acoustic Lighting Thermal Energy Air Quality Engineering Design Consultant - Green and Health Built Environment

https://herwingunawan.work
Next
Next

Pelestarian Bangunan Cagar Budaya Gereja Katedral Jakarta melalui Strategi Pencahayaan Berkelanjutan